Ibnu Hajar Al-Asqalani yang juga ahli sejarah dalam Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari membahas sejarah tahun baru atau penanggalan kalender Islam dalam Bab Tarikh. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz VII, halaman 307).
Al-Asqalani mengangkat persilangan pendapat
perihal sejarah awal tahun baru Islam. Al-Hakim meriwayatkan dari Syihab bin
Zuhri bahwa Nabi Muhammad saw tiba di Madinah lalu memerintahkan penulisan
sejarah pada bulan Rabiul Awwal. Tetapi riwayat ini lemah karena perawinya
hilang dua atau lebih secara berturut-turut (mu’dhal).
Adapun pendapat yang masyhur mengatakan bahwa
penetapan awal tahun baru Islam terjadi pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar
bin Khattab ra (634-644 M/13-23 H) setelah sahabat Abu Bakar ra (632-634
M/11-13 H)
Para sahabat menetapkan awal tahun baru Islam
berdasarkan peristiwa hijrah melalui firman Allah perihal pembangunan masjid
Kuba, “La masjidun ussisa alat taqwā min awwali yawmin” atau “Sungguh, masjid
yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama (Surat At-Taubah ayat 108).
Kata “awwali yawmin” atau “sejak hari
pertama” sebagaimana sudah sama-sama maklum tidak berarti hari pertama secara
mutlak, tetapi hari di mana waktu pertama kemuliaan Islam, hari di mana Nabi
Muhammad saw beribadah dengan rasa aman, dan hari di mana Rasulullah saw dan
umat Islam membangun pertama kali sebuah masjid sebagai rumah ibadah.
Para sahabat sependapat bahwa peristiwa
tersebut menjadi awal mula penanggalan kalender tahun baru Islam. Kita juga
memaklumi bahwa “awwali yawmin” atau “sejak hari pertama” pada Surat At-Taubah
ayat 108 merupakan hari Nabi Muhammad saw dan sahabatnya memasuki Kota Madinah.
“Sahal bin Sa’ad mengatakan, ‘Para saahabat
tidak mengitung hari kenabian-kerasulan Nabi Muhammad saw atau hari wafatnya
sebagai awal tahun baru Islam. Mereka mengitung awal tahun baru Islam dari hari
Nabi Muhammad saw tiba di Kota Madinah,’” (HR Bukhari).
Adapun riwayat Al-Hakim menyebutkan bahwa
banyak orang keliru. Mereka mengitung bukan sejak Nabi Muhammad saw tiba di
Madinah, tetapi sejak tahun wafatnya. Menurut Al-Hakim, informasi ini yang
justru keliru. Mereka justru mengitung tahun tiba Nabi Muhammad saw di Kota
Madinah.
Adapun yang dimaksud dengan “Banyak orang
keliru” adalah kelalaian dan keabaian mereka. Tetapi mereka kemudian mencoba
menemukan dan mengingatnya kembali. Al-Asqalani menambahkan, tidak ada
keterangan pasti perihal bulan kedatangan Nabi Muhammad saw di Madinah.
Sedangkan sejarah teritung pada awal tahun.
Setidaknya ada empat opsi yang diperhatikan
para sahabat untuk menentukan awal tahun baru Islam, yaitu waktu kelahiran
(maulid), waktu pengangkatan kenabian-kerasulan, waktu hijrah ke Madinah, dan
waktu wafat Nabi Muhammad saw.
Bagi sebagian sahabat, waktu hijrah lebih
pasti dalam ingatan mereka. Sedangkan waktu (tahun) kelahiran dan pengangkatan
kenabian-kerasulan Nabi Muhammad saw diperselisihkan di kalangan mereka. Adapun
waktu wafat Nabi Muhammad saw dihindari oleh mereka karena hanya melahirkan
kesedihan sehingga pilihan penentuan tahun baru Islam jatuh pada peristiwa
hijrah. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/307).
Para sahabat bertekad bulat ('azam) untuk
berhijrah pada bulan Muharram. Adapun baiat atau perjanjian untuk berhijrah
terjadi pada pertengahan Dzulhijah yang menjadi pendahuluan hijrah. Sedangkan
bulan (hilal) pertama yang tampak setelah baiat dan 'azam untuk berhijrah jatuh
pada bulan Muharram. Jadi Muharram cukup relevan dijadikan awal tahun baru
Islam. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/307). (Alhafiz Kurniawan)
Sumber: https://www.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-tahun-baru-islam-LIgCB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar